Jakarta, kilatutama.com – Di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap isu kekerasan di lingkungan pendidikan tinggi, Universitas LIA tampil menjadi teladan. Kampus yang berada di jantung Jakarta ini menegaskan komitmennya untuk menghadirkan ruang belajar yang aman dan bermartabat melalui Sosialisasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) yang digelar Kamis, 2 Oktober 2025, di Auditorium Universitas LIA.
Namun, acara ini bukan sekadar sosialisasi formal. Ia menjadi simbol kolaborasi strategis antara tiga kekuatan penting: legislatif, akademisi, dan regulator pendidikan tinggi. Hadir sebagai narasumber — Hj. Himmatul Aliyah, S.Sos., M.Si., Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dr. Henri Togar Hasiholan Tambunan, S.E., M.A., Kepala LLDIKTI Wilayah III, serta Dr. Siti Yulidhar Harunasari, M.Pd., Rektor Universitas LIA — ketiganya berbagi pandangan dalam satu frekuensi: meneguhkan kampus sebagai “wilayah aman dari segala bentuk kekerasan.”
Dalam sambutannya, Rektor Universitas LIA, Dr. Siti Yulidhar Harunasari, menegaskan bahwa keberadaan Satuan Tugas (Satgas) PPKPT bukan hanya kewajiban administratif, melainkan representasi nilai kemanusiaan di dunia pendidikan.
“Satgas PPKPT memastikan kampus benar-benar menjadi rumah kedua yang aman, nyaman, dan bermartabat bagi seluruh civitas akademika,” ujarnya tegas.
Ia menambahkan, Universitas LIA menjadi salah satu dari sebelas perguruan tinggi pertama di Indonesia yang telah membentuk Satgas PPKPT. Sebuah langkah progresif yang menunjukkan keseriusan lembaga dalam menegakkan budaya anti-kekerasan dan menghormati martabat manusia.
Dalam materinya, Dr. Siti Yulidhar memperdalam konsep “campus as a second home” — gagasan yang kini menjadi filosofi baru bagi pengelolaan kampus modern. Ia menekankan, kampus tidak hanya tempat menuntut ilmu, melainkan ruang tumbuh yang harus memberi rasa aman dan dukungan psikologis bagi setiap mahasiswa.
Sementara itu, Hj. Himmatul Aliyah, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, membawa perspektif kebijakan publik. Dengan gaya lugas, ia menyoroti berbagai bentuk pelecehan dan kekerasan yang kerap tersembunyi dalam interaksi sosial kampus.
“Jangan takut melapor. Setiap korban berhak atas perlindungan dan keadilan,” tegasnya.
Pernyataan itu menggema di ruangan, disambut tepuk tangan peserta — tanda bahwa isu ini menyentuh dimensi emosional yang tak bisa diabaikan. Ia juga menegaskan dukungan DPR dalam memperkuat peraturan dan pengawasan implementasi Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, yang menjadi payung hukum pelaksanaan PPKPT di seluruh perguruan tinggi.
Melengkapi perspektif tersebut, Dr. Henri Togar Hasiholan Tambunan, Kepala LLDIKTI Wilayah III, menegaskan bahwa pencegahan kekerasan adalah bagian integral dari tata kelola perguruan tinggi yang sehat. Ia memaparkan aspek teknis dan yuridis dari Permendikbudristek No. 55/2024, serta pentingnya pelibatan seluruh unsur kampus — dari pimpinan, dosen, hingga mahasiswa — dalam membangun budaya saling menghormati.
Acara yang berlangsung khidmat namun penuh semangat itu ditutup dengan penyerahan cenderamata kepada para narasumber sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi mereka. Namun yang lebih penting dari itu, sosialisasi ini meninggalkan pesan moral yang mendalam: bahwa dunia pendidikan tidak boleh menjadi ruang abu-abu bagi kekerasan dalam bentuk apa pun.
Universitas LIA kini bukan hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai ruang peradaban yang menegakkan martabat manusia. Kolaborasi dengan DPR dan LLDIKTI menunjukkan bahwa upaya menciptakan kampus bebas kekerasan bukan sekadar wacana, melainkan gerakan nyata yang lahir dari kesadaran kolektif — bahwa aman, nyaman, dan bermartabat bukan sekadar slogan, melainkan hak setiap insan akademik. (*)
Tidak ada komentar